Aku duduk
menggantungkan kaki di teras depan kamarku, air laut naik menutupi karang di
bawah kakiku. Saat siang hari, air laut surut dan menampakkan karang-karang
dengan puluhan kepiting berwarna hijau tua, tersamar karena warnanya yang sama
dengan lumut di bebatuan. Dulu, kami sering pergi ke bawah dek kayu yang
kududuki ini, untuk mencari ikan-ikan kecil. Berbekal gelas plastik bekas air
mineral, bertelanjang kaki dengan kostum singlet dan celana pendek yang basah
dan tubuh asin. Kalau aku menjilat bibirku sendiri, aku bisa merasakan amisnya
air laut. Mataku akan selalu terpicing, jika mencoba melihat ke langit.
Matahari dan sinarnya di jam 12 siang. Dulu.
Malam ini,
aku memandang kapal-kapal feri yang berlabuh di garis pantai di hadapanku.
Bunyi angin terasa menyeramkan malam ini, sambil bertanya-tanya di dalam hati,
bagaimana kabar mereka di Jakarta, Bandar Lampung dan Christchurch? 7 tahun
telah berlalu. Aku akan menginjak usia yang cukup senja untuk tetap menjadi single, 27. Setidaknya, sudah cukup tua
menurut penilaian pribadiku dan terlalu tua menurut penilaian ibuku. Pada
masanya mungkin anak-anak gadis akan kawin setelah berumur 15 tahun. Ibu
berusaha mengerti, menyelaraskan norma-norma sejamannya dengan norma-norma yang
sudah bergeser di era modern, yang segera berganti menjadi era post-modern.
Pernah beliau berkata, "Setidaknya bawalah pacarmu kemari Aydi. Komitmen
akan muncul seiring dengan kebersamaanmu dengan seorang laki-laki." Yeah,
can't agree more mah, pikirku.
Ibuku,mama,
orang yang religius, ia percaya kalau Tuhan akan memberkati setiap pasangan
yang saling mencintai dengan anak. Bukan, mama bukan takut aku sulit punya anak
jika aku menikah terlalu tua. Sebenarnya, ia takut aku tidak akan menikah. Ia
takut aku akan menjadi salah satu perawan tua yang hidup seorang diri di
pinggir pantai. Tidak ada seorangpun yang memperhatikan, apalagi mengurus.
Aku bukan
menyalahkan Jonas untuk urusan ini, aku lebih menyalahkan karakterku. Tapi
kalau aku menyalahkan karakterku, aku terpaksa juga menyalahkan keluargaku dan
teman-temanku. Karakter terbentuk karena lingkungan sekitar, bukan?
Sesaat
memejamkan mata, Neng berlari-lari kecil menghampiriku, dengan tubuh kecilnya
yang bau. Rambutnya panjang tipis, selalu diikat. Aku tidak pernah ingat ia
pernah bekerja dengan santai, ia selalu terburu-buru, berlari-lari dan
berkeringat. Semua pekerjaan rumah ia bereskan dengan sekali kedipan mata.
Sangat dihandalkan oleh keluarga kami. "Di, kopinya udah jadi, mau dibawa
kesini atau minum di dalam ajah?". "Bawa ke ruang atas aja
Mbak." jawabku tanpa menoleh padanya, masih asik menghitung berapa jumlah
kapal feri yang parkir di laut hari ini.
Saku
celana pendek terasa berat karena gadget, yang selalu berdekatan dengan
tubuhku. Merogohnya, layarnya yang besar, mulai membuka e-mail, aku tidak
begitu yakin dengan ide spontan ini, tapi langit berbintang malam ini, yang
tidak cukup berbintang karena polusi cahaya, meyakinkanku untuk menyusun kata
demi kata, pada layar sentuh benda yang cukup besar itu.
"Sudah
lama, ayo berkumpul lagi, di sini, di tempat kita menghabiskan bergiga-giga
byte untuk foto, dan menyumbang sampah dunia dengan membuang puluhan botol cola dalam satu malam."
Sent.
Sambil
berusaha mengeluarkan bagian bawah tubuhku dari sela-sela pagar kayu, aku
membersihkan celanaku, mengebaskan debu-debu lantai kayu yang sudah reyot,
sedikit manuver, mungkin dek kayu itu akan segera mencapai akhir pengabdiannya
untukku selama sekian puluh tahun aku tinggal di sini. Pintu kamarku masih
terawat, dengan decorative wood tergantung di depannya, inisial namaku, A. Aku
akan meminum segelas kopi hitam tanpa gula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar